Artikel Sosok

Jauh sebelum rencana pembuatan film tentang Wiji Thukul, saya sudah menemui Gunawan Maryanto untuk meminta pendapat sekaligus meminangnya memainkan Siman, astronot dari Bantul di film yang berjudul The Science of Fictions yang akan saya bikin.
Setelah dirawat di RS Pondok Indah, Jakarta, karena komplikasi diabetes sejak Kamis 3 Januari 2019, Edward Pesta Sirait, sutradara puluhan film dan ratusan seri sinetron Indonesia, akhirnya meninggal dunia di ruang perawatannya pada hari Sabtu 12 Januari 2019, pukul 17:58 WIB. Sejak malam harinya jenazah disemayamkan di rumahduka RS Dharmais, Jakarta, lalu dimakamkan pada siang hari Senin 14 Januari di Sandiego Hills, Karawang Barat. Edward, yang disebut Edo oleh teman-temannya, meninggalkan 16 orang kesayangan terdekatnya: isterinya, Gottina Tiapul br Tambunan, empat anak dan empat menantu, serta tujuh cucu.
Ada satu perubahan yang yang kita kenal dengan reformasi, tapi korban yang berjatuhan juga banyak. Kan maunya kejadian itu tidak terulang lagi. Kalau mau ada perubahan ke arah yang bagus, ya bagus. Namun, jangan sampai ada korban.
Kalau ada tawaran lagi untuk berpartisipasi dalam film laga, saya percaya kalau saya sanggup. Dengan catatan, standarnya seperti film ini. Soalnya sejak kecil saya memang sudah menyukai genre ini. Bisa ikut bermain dalam film ini adalah mimpi yang jadi kenyataan. This is a dream come true!”
"Venice itu festival film yang buat saya paling sentimental." Tahun 2011 silam, ketika Sidi diundang ke Festival di Udinese, ia sempat jalan-jalan ke Venice. Hari berikutnya Sidi menerima kabar ayahnya meninggal. “Ayah adalah orang pertama yang memperkenalkan saya dengan kamera."
Untuk tahun 2014 ini, ada sepuluh naskah film yang masuk untuk Acha. Namun, ia hanya menerima lima film dengan pertimbangan cerita filmnya sekaligus waktu yang tersedia. Apa tidak bosan main di film-film cinta terus? “Nggak, sih. Saya suka sekali akting, jadi nggak bosan. Di mata saya, semua peran pasti menantang.”
Nah, yang perlu diingat adalah ‘pengembalian modal tidak hanya berasal dari bioskop’. Jadi kami tidak membebankan film tersebut untuk sukses di pasaran dengan banyaknya jumlah penonton. Tidak demikian, karena menurut saya itu tidak realistis. Terlebih melihat kondisi (perfilman) kita sekarang ini.”
Kalau tidak ada bantuan bagaimana mungkin bisa berkembang? Jadi jangan hanya BBM saja yang disubsidi, film juga perlu subsidi!, ia tertawa bersemangat.
Empat tahun setelah roman Hari untuk Amanda (2010), sutradara Angga Dwimas Sasongko yang akrab disapa Dimas kini kembali ke layar bioskop dengan memboyong rombongan tim sepak bola anak-anak Maluku ke dalam film Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014).
Jakarta ini lucu. Setiap kali saya meninggalkan Jakarta, saya merasa senang sekali. Tapi setelah pergi, ujung-ujungnya saya selalu kangen. Ke manapun saya pergi, saya mendapati diri saya kembali kangen dengan suasana Jakarta.