Artikel/Kajian Kaleidoskop 2017: Mengukur detak jantung industri film Indonesia

Kajian Agus Mediarta 17-02-2018

Pemutakhiran isi, 18 Februari 2018, 15:09.

Terdapat beberapa hal menarik dari perjalanan film Indonesia sepanjang 2017. Pada beberapa indikator seperti jumlah layar dan penonton menunjukkan adanya pertumbuhan. Dari segi jumlah film beredar, terdapat penurunan dibandingkan dengan tahun 2016 tetapi dalam jumlah yang tidak signifikan. Bahkan bila dilihat dari pembagian perolehan penonton, berkurangnya jumlah film beredar di tahun 2017 juga dapat dipandang positif.

Di tahun 2017 beredar 121 judul film panjang (di atas 60 menit) terdiri atas 5 dokumenter dan 116 fiksi. Terdapat 4 judul film yang tidak tayang di bioskop konvensional berjaringan dan non jaringan. Empat judul tersebut, tiga film dokumenter nominator Festival Film Indonesia dan satu film fiksi (Sekala Niskala) yang baru tayang perdana di ajang festival film dan akan beredar di bioskop konvensional berjaringan di 2018. Lima judul tersebut lebih kecil dibandingkan sembilan judul di 2016.

Penayangan film di bioskop konvensional berjaringan dan non jaringan (selanjutnya akan disebut sebagai bioskop konvensional) merupakan salah satu ukuran untuk melihat dampak ekonomi dalam melihat perkembangan industri film Indonesia. Dari bioskop konvensional tersebut kita dapat melihat persebaran bioskop secara geografis, jumlah layar, perkembangan harga tiket, dan juga tentunya jumlah penonton. Selain bioskop konvensional, terdapat juga bioskop alternatif berupa ruang-ruang tonton bersama yang menggunakan mekanisme donasi dan bukan menerapkan harga tiket masuk (HTM) bagi penontonnya. Bioskop alternatif pada dasarnya beroperasi seperti halnya bioskop konvensional dengan skala lebih kecil, dilihat dari kapasitas penonton dan kapasitas penayangan setiap harinya, namun memiliki orientasi budaya untuk menumbuhkan budaya sinema. Hal yang tidak menjadi fokus dalam tulisan ini.

Berbeda dengan bioskop alternatif, penyebutan konvensional pada bioskop jaringan dan non jaringan yang menerapkan HTM bagi penontonnya merupakan bentuk pelabelan untuk menunjukkan berkembangnya fenomena penayangan streaming berbayar film Indonesia. Paling tidak, sepanjang  2016 terdapat enam kanal streaming film beroperasi resmi di Indonesia, baik yang diakses lewat aplikasi mobile maupun situs web. Bila sebelum tahun 2016, kanal streaming hanya ditempatkan di lapisan kedua atau ketiga dalam alur distribusi film seperti halnya televisi atau home video, maka saat ini tidak lagi. Netflix dan Amazon gencar melakukan akusisi di festival-festival film juga turut memproduksi film. Netflix fokus pada penyediaan konten di platform-nya dan mengabaikan bentuk distribusi tradisional, sementara Amazon melakukan kolaborasi dengan jaringan bioskop. Arena bermain industri film sedang berubah.

Namun demikian, tulisan ini ditujukan untuk membaca bentuk keragaman konten film Indonesia di 2017 dan bukan perkembangan dan perubahan industri film secara global. Paparan tentang bioskop alternatif dan juga masuknya platform streaming berbayar untuk menonton film merupakan konteks yang sedang dan akan dihadapi oleh industri film Indonesia. Membaca keragaman konten film Indonesia menjadi penting dan relevan ketika ditempatkan dalam konteks tersebut.

Keragaman konten, tuntutan pertumbuhan dan keberlangsungan hidup industri film

Industri film membutuhkan keragaman konten, baik dari segi genre, bentuk, gaya, tema, narasi, dan berbagai hal yang dimungkinkan terwujud dalam film, termasuk sasaran usia penonton. Terkadang, keragaman konten juga mencerminkan adanya pertarungan gagasan. Secara alamiah, keragaman konten dalam industri film ditujukan untuk meraih penonton yang karakteristiknya berbeda-beda. Sayangnya, belum banyak analisis tentang karakteristik penonton film di Indonesia serta kajian-kajian industri film lainnya. Sementara, pelaku industri melihat jumlah penonton sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan sebuah film. Banyaknya hal yang dipertaruhkan membuat sulit bagi pelaku industri film beranjak dari zona amannya.

Sebuah fenomena umum ketika keberhasilan berulang dari sebuah film dipandang sebagai formula untuk mencoba mengulangi kesuksesan. Di periode 2009-2011, jumlah film Indonesia dengan tema horor dengan kombinasi komedi dan konten sensual meningkat, begitu juga film-film bertema motivasi untuk sukses keluar dari situasi tidak beruntung dan seterusnya. Begitu pula dengan sasaran usia penonton berdasarkan klasifikasi Lembaga Sensor Film, lembaga yang menentukan ijin penayangan film di bioskop konvensional. Hingga 2017, jumlah film berdasarkan baik genre maupun klasifikasi usia penonton tidak banyak berubah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Walaupun demikian, situasi di atas tetap bisa dipandang positif bagi industri film sepanjang tetap menunjukkan keragaman dalam spektrum konten yang serupa. Paling tidak, hal tersebutlah yang dapat kita lihat di tahun 2017 yang menunjukkan hal-hal menarik dalam hal keragaman konten. 

Dengan 116 judul film di 2017 (turun dari 124 judul di 2016), keragaman film berdasarkan klasifikasi usia penonton dan genre menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan dibandingkan dengan 2016. Namun demikian, bila dilihat dari total jumlah penonton atas film Indonesia yang tayang perdana di 2017 mengalami kenaikan 14%, dari 37.227.428 di 2016 menjadi 42.387.627 penonton.

Grafik 1: Klasifikasi Penonton Berdasarkan LSF (2016 & 2017)

Grafik 2: Perbandingan jumlah film berdasarkan genre, 2016 & 2017

Grafik 3: Perbandingan jumlah penonton berdasarkan bulan, 2016 & 2017

Grafik 4: Perolehan penonton berdasarkan bulan dan judul film, 2016

Kenaikan jumlah penonton tersebut dapat dilihat sebagai indikasi atas dua hal. Pertama, adanya hal "baru" dan berbeda dalam bentuk dan karakteristik tema yang tawarkan. Kedua, adanya peningkatan kualitas dan nilai produksi film. Selain dua indikasi tersebut, tentunya variabel strategi marketing sangat berperan, terutama ketepatan dalam penggunaan medium multi-platform, film Pengabdi Setan adalah salah satu contohnya. Pendekatan menciptakan berita sensasi dan kontroversial sebagai perangkat promosi film sudah mulai ditinggalkan. Artinya, terdapat upaya-upaya untuk mengambil resiko, keluar dari zona aman dengan pendekatan-pendekatan baru.

Kedua indikasi di atas dapat dilihat secara lebih detail dari pembagian karakteristik genre dan tematik. Sebagai contoh, apa yang terjadi di 2017 utamanya dapat dilihat di genre film horor dan kategori film adaptasi. Dari jumlah judul dan proporsi perolehan jumlah penonton film horor misalnya dalam periode 2012 sampai 2017 menunjukkan perubahan yang sangat signifikan.

Tabel 1: Jumlah judul film horor dan kategori perolehan penonton

Dari angka di atas dapat dilihat peningkatan yang tajam atas film horor dengan jumlah penonton di atas satu juta di 2017 dan penurunan jumlah film horor dengan perolehan penonton di bawah seratus ribu. Peningkatan tersebut juga dapat dilihat persentasenya dibandingkan dengan jumlah penonton secara keseluruhan. 24 judul film horor berkontribusi sebanyak 35% dari total jumlah penonton di 2017.

Tabel 2: Persentase jumlah judul dan penonton film horor dari total jumlah di masing-masing tahun.

Fenomena Pengabdi Setan yang terinspirasi dari film dengan judul yang sama di tahun 1980 tidak sendirian di genre horor. Setelah mendapat 550.252 penonton di film The Doll (2016), Hitmaker Studio memperoleh 1.226.864 penonton di sekuelnya, The Doll 2 (2017). Film sekuel yang memperoleh penonton lebih besar (123%) dari film sebelumnya adalah hal yang sangat jarang terjadi, terutama di film Indonesia. Rocky Soraya, sutradara dan produser seri The Doll, bahkan memperoleh 1.282.557 penonton lewat film Mata Batin (2017), tetap di genre film horor. Selain itu, kembalinya upaya adaptasi film dari karya terbitan di genre horor digarap serius, Danur: I Can See Ghosts (2017) dan memperoleh 2.736.157 penonton.

Perkembangan menarik juga terlihat dari film-film adaptasi di 2017, baik adaptasi dari buku, karya jurnalistik, opera, lagu, maupun komik. Satu dari empat judul film yang tayang di 2017, Falcon Pictures mengeluarkan film adaptasi dari komik yang sebelumnya telah beredar di media internet. Si Juki the Movie: Panitia Hari Akhir diadaptasi dalam format animasi dan berhasil memperoleh 642.312 penonton. Dari sisi sebagai film animasi, film produksi Falcon Picture ini merupakan permulaan yang baik setelah sebelumnya terdapat film Meraih Mimpi (2009) produksi kerjasama Kalyana Pictures, Infinite Frameworks, dan Indika Pictures yang memperoleh 288.862 penonton.

Tabel 3: Jumlah judul dan penonton film adaptasi di tahun 2016 dan 2017

Dibandingkan 2016, jumlah film adaptasi cukup berkurang di 2017. Walau demikian, dari jumlah penonton terjadi lonjakan 60% dan berkontribusi 36% dari total jumlah penonton di 2017. Indikasi positif merata di kategori jumlah penonton di atas satu juta, antara seratus ribu sampai satu juta, dan di bawah seratus ribu penonton. Bila di 2016 terdapat dua puluh judul film adaptasi yang memperoleh di bawah seratus ribu penonton, maka di 2017 angka tersebut turun setengahnya.

Pertumbuhan film adaptasi serta praktek alih wahana atau alih media sangat relevan digunakan untuk melihat interkoneksi antar subsektor dalam konteks industri kreatif, terutama terutama antar subsektor film dan penerbitan. Walau sangat dimungkinkan optimalisasi interkoneksi antar subsektor dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, situasi yang hendak dipaparkan adalah sumbangannya pada pertumbuhan positif jumlah penonton film Indonesia. Di 2017, beredar 23 judul film yang diadaptasi dari karya terbitan, dua judul lebih banyak dibandingkan 2016, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4: Jumlah judul dan penonton film adaptasi dari karya terbitan.

Sekilas, selain film bergenre horor serta konten adaptasi, secara tematik dalam periode 2016 dan 2017 tema biopik sudah sangat beragam. Narasi tidak lagi terpusat pada tokoh-tokoh besar dan berada di pinggiran atau bahkan dipinggirkan sejarah, seperti film 3 Pilihan Hidup (2016) tentang Kabul Basuki alias Tessy, Boven Digoel (2017) tentang John Manangsang, dan Istirahatlah Kata-Kata (2017) tentang penyair Widji Thukul.

Tabel 5: Jumlah judul dan penonton film Biopik

Pentingnya kemunculan narasi-narasi biopik-historis pinggiran ini, memang tidak melulu dapat dijelaskan lewat jumlah penonton. Seperti halnya beberapa film lainnya di luar tema biopik-historis. Film-film yang kemunculannya memberikan keragaman bentuk yang di luar mainstream (classic narratif), baik dari segi narasi maupun aspek-aspek sinematografis. Maka, pada beberapa film, data jumlah penonton justru tidak begitu relevan selain menunjukkan bahwa film-film seperti itu juga memiliki kelompok penonton. Hal ini penting ketika melihat film seperti Istirahatlah Kata-kata yang memiliki karakteristik sebagai film Art House dan memperoleh 52.423 penonton. Argumen yang sama, juga berlaku ketika melihat film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang memperoleh 154.596 penonton.

Begitu pula bila melihat film-film di tema remaja (konten dengan tema utama narasi pada persoalan yang dihadapi oleh generasi di usia 12 - 21 tahun). Kehadiran film seperti Posesif dan My Generation memberikan alternatif perspektif dalam mengangkat persoalan-persoalan remaja kekinian, walau tetap menggunakan bahasa yang umum di kalangan remaja yaitu drama percintaan dan persahabatan.

Tabel 6: Jumlah judul dan penonton film remaja

Dari data di Tabel 1 sampai 6 menunjukkan bahwa industri film Indonesia berkembang positif, keadaan yang terlihat dalam lima tahun terakhir. Film Indonesia yang tayang di bioskop konvensional semakin beragam. Di 2014 misalnya, terdapat film-film yang diproduksi oleh perusahaan rumah produksi di luar Jawa atau mendapat dukungan produksi dari pemerintah daerah. Film-film seperti Bombe' (Kota Makassar) dan Cahaya Dari Timur (Kota Ambon). Khusus Sulawesi, sejak 2014 tumbuh beberapa rumah produksi yang menghasilkan film dan mengedarkannya lewat jaringan bioskop konvensional.

Tabel 7: Film-film hasil produksi dari luar Jawa dari 2014-2017

Selain Sulawesi, tentu saja terdapat film-film dari Yogyakarta dan Bandung. Di 2014 film Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya produksi Limaenam Films, Yogyakarta, beredar di bioskop konvensional setelah tayang di Locarno Film Festival, Swiss, di 2012. Di 2017, beredar dua film Limaenam Films, Istirahatlah Kata-kata dan Ziarah. Di 2014, Siti, film produksi Fourcolours Films tayang di Singapore International Film Festival dan mendapat Silver Award dalam kategori Best Performance. Film yang tidak direncanakan untuk tayang di jaringan bioskop konvensional di Indonesia ini mendapat Piala Citra di Festival Film Indonesia 2015 sebagai Film Terbaik. Siti pun beredar di jaringan bioskop Indonesia di 2016. Setelah Siti, Fourcolours Film menghadirkan Turah(2017) dan Sekala Niskala (2017).

Salah satu yang membuat industri film bertahan hidup di akhir 1990an adalah adanya ruang kebebasan baru yang membuka ruang munculnya beragam tema film. Keragaman konten bukan saja dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi industri film tetapi juga salah satu faktor yang menentukan keberlangsungan dan daya hidup industri dan budaya film di Indonesia.

Di titik tersebut, saat ini masih banyak film Indonesia yang tidak masuk ke bioskop konvensional karena berbagai alasan. Yang paling nyata adalah film dokumenter panjang. Wajar saja bila bioskop konvensional memiliki pertimbangan "penyusunan program/slot tayang" berdasarkan kalkulasi ekonomi. Namun, bila dilihat kembali data-data di atas, maka secara langsung menunjukkan bahwa pihak bioskop konvensional fleksibel dalam kalkulasi ekonominya, apapun motivasinya. Selain berlaku pada contoh film-film dari Sulawesi, fleksibilitas itu juga dapat dilihat pada penayangan film dokumenter.

Tabel 8: Film dokumenter yang pernah tayang di bioskop konvensional.

Peredaran film dokumenter di bioskop konvensional masih sangat jarang dilakukan. Selain itu, mayoritas produksi film dokumenter Indonesia orientasi utamanya bukan menjaring penonton melalui bioskop konvensional dengan aspek komersil di dalamnya. Kebanyakan film dokumenter mempunyai jaringan sirkulasinya sendiri di luar bioskop konvensional, baik itu melalui jaringan komunitas, festival film, institusi pendidikan, atau pun bioskop alternatif. Adanya pemutaran di bioskop konvensional sebenarnya memberikan peluang bagi informasi atau isu yang diusung oleh film agar ditonton lebih banyak orang. Tentu saja selain itu dapat memperlihatkan potensi pasar film dokumenter dan menyumbangkan keragaman di lanskap industri film Indonesia.

Paparan di atas baru memotret sebagian kecil dari produksi keragaman film Indonesia. Publik pada umumnya hanya melihat keadaan Industri film Indonesia dari etalase terdepannya adalah bioskop konvensional serta ajang-ajang festival, kompetisi, dan berbagai bentuk penghargaan film yang banyak diliput media massa. Tidak salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Di hulu, banyak ruang hidup yang turut berperan menciptakan keragaman tema, narasi, dan berbagai aspek sinematografis dalam film Indonesia. Komunitas film, bioskop-bioskop alternatif, lembaga pendidikan film, termasuk entitas bisnis non konvensional yang berlandaskan pada terobosan-terobosan teknologi terbaru, semua lini yang kini turut membuka tumbuhnya bentuk-bentuk keragaman.

Di beberapa daerah, berkembang film produksi setempat dengan sirkulasi terbatas. Dari penelitian yang sedang dijalankan oleh Makbul Mubarak, pengajar Film dan Televisi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) diperoleh informasi tentang beredarnya film-film panjang yang diproduksi di wilayah Aceh. Jumlah film yang telah beredar dimungkinkan berjumlah ratusan. Dugaan tersebut berdasarkan 60 judul film hasil temuan sementara dalam penelitian lapangan yang belum final dan belum mencakup seluruh wilayah produksi dan peredaran film di Aceh. Besarnya jumlah film beredar juga dikarenakan adanya dua sentra produksi film di Aceh, film-film yang berbahasa Aceh dan film berbahasa Gayo. Dugaan sementara, fenomena produksi film setempat di Aceh berkembang pesat sejak tahun 2006 atau dua tahun pasca tsunami 2004 sebagai wahana mengatasi trauma dan memberi hiburan (mengingat tidak ada bioskop di Aceh hingga hari ini). Film-film tersebut beredar langsung dalam bentuk DVD atau format home video. Produksi film setempat sebagai bentuk ekspresi estetik audio visual dengan konten atau bahasa lokal juga terjadi di tempat-tempat lain. Seperti halnya di Singkawang dan Pontianak, Kalimantan Barat.

Moda produksi pinggiran ini punya beragam bentuk. Apa yang ada sekarang masih jauh dari optimal, baik upaya-upaya pengayaan di hulu (komunitas film, bioskop alternatif dan kelompok-kelompok apresiasi film, dan lainnya) maupun di hilir (bioskop konvensional, sirkulasi model baru lewat jaringan internet). Pembahasan tentang keragaman konten di atas pun masih bertumpu pada korelasinya dengan pertumbuhan dan keberlangsungan hidup industri film. Kita belum sampai pada bentuk keragaman lain yang menjadi perhatian global, keragaman identitas dan representasi, terkait dengan isu kelompok minoritas, gender, dan apropriasi budaya. Bentuk keragaman yang juga pada akhirnya akan menentukan posisi "belongingness" atau kepemilikan penonton film di Indonesia terhadap industri film Indonesia, tentunya punya dampak ekonomi. Bermunculannya film-film produksi dengan sirkulasi setempat dan terbatas pada bahasa dan narasi lokal juga dapat dilihat sebagai bentuk kerenggangan relasi antar masyarakat dan produser konten film Indonesia. Situasi di tengah dunia film yang sedang berubah.