Artikel/Berita Macan Tutul Emas untuk Dendam, Prestasi Tertinggi Film Indonesia yang Tak Dipahami

Berita Lisabona Rahman 24-09-2021

Catatan:
Tulisan ini merupakan bentuk penyuntingan berbeda dengan tulisan yang terbit di Majalah Berita Mingguan TEMPO tanggal 18 September 2021 dengan judul "Edwin dan Macan Tutul Emas Locarno"

Film laga romantis Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas *) karya sutradara Edwin mencatat prestasi luar biasa di Festival Film Internasional Locarno, Swiss dengan meraih penghargaan film terbaik Golden Leopard (Macan Tutul Emas). Ini prestasi tertinggi yang pernah diraih film produksi Indonesia di forum festival kompetitif terakreditasi di dunia dan prestasi tinggi juga untuk film Asia Tenggara.

Di tengah pandemi global Covid-19 yang membatasi produksi film serta berkumpul secara fisik di bioskop dan di festival, Indonesia mendapat kabar baik ini. Saya harus menyatakan bahwa saya merasa sangat beruntung dapat menyaksikan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (singkatnya, "Dendam") menemui penontonnya dalam pemutaran perdana dunia di Locarno. Terasa sekali betapa ruwetnya menghadiri festival di masa pandemi, mulai dari pemeriksaan bukti bebas Covid, perjalanan dan pembatasan jumlah penonton. Tim Dendam pun harus mematuhi semua pembatasan ini dengan menghadiri sebagian saja dari keseluruhan festival. Saat kabar baik Golden Leopard diumumkan, hanya produser Muhammad Zaidy yang masih berada di lokasi, sementara sutradara Edwin dan produser Meiske Taurisia serta para pemain sedang terkurung di kamar karantina mereka di Jakarta.

Mematahkan Kredo Film Genre versus Film Seni

Ada semacam anggapan yang dipelihara sejak pasca kemerdekaan di kalangan pemerhati film Indonesia, bahwa film genre adalah film yang rendah nilai estetikanya. Film genre secara sederhana bisa dikatakan sebagai film-film yang dibuat dengan konvensi artistik khusus yang biasanya terkait dengan suasana yang dibawa oleh ceritanya, bisa berupa kekhasan lokasi (misalnya Western), dunia fantastik (misalnya horor, fiksi ilmiah, dongeng) atau penggunaan teknik pemeranan atau gerak (misalnya film laga, musikal). Sampai menjelang akhir paruh kedua abad ke-20, film genre dianggap sebagai bentuk film populer untuk hiburan picisan yang tidak sebanding nilai seninya dengan film-film drama dengan karakter realistis.

Film genre tidak hanya penting sebagai produk dagang, akan tetapi juga melibatkan ekspresi audiovisual yang khas. Artinya, film genre membutuhkan keahlian-keahlian khusus, mulai dari penulisan, penyutradaan, tata kamera dan cahaya, artisik, rias, koreografi gerak, olah suara dan musik. Semakin lama, publik dan pemerhati film makin dapat mengakui bahwa film genre patut dianggap serius sebagai kepiawaian artistik. Film Dendam dapat dikatakan adalah suatu ode terhadap genre film laga Indonesia tahun 1980-an.

Cerita film ini diadaptasi dari novel karya Eka Kurniawan berjudul sama yang terbit tahun 2014. Tokoh sentral cerita adalah seorang pemuda bernama Ajo Kawir dari kampung Bojong Soang yang impoten karena trauma akibat dipaksa menyertai tindak perkosaan semasa ia kecil. Impotensi ini membuatnya frustrasi dan mencari pelepasan dengan jalan berkelahi. Ia bertemu dan kemudian berpasangan dengan Iteung, pendekar perempuan yang mencari penghidupan dari menjadi tukang pukul.

Namanya juga film laga, walaupun romantis, momen pertemuan Ajo dan Iteung tentunya tidak diisi dengan saling senyum saling lirik malu-malu kucing. Iteung menghajar Ajo habis-habisan. Pasangan ini mengarungi hubungan mereka dalam dunia yang penuh khianat, kekerasan dan penindasan si kaya terhadap si miskin. Cerita-cerita yang berlangsung di sekitar Ajo dan Iteung pun memperlihatkan bahwa menjadi miskin di tengah masyarakat yang agresif lagi patriarkis menghasilkan dampak yang sama sekali berbeda untuk lelaki dan untuk perempuan. Di dalam film ini kelamin menjadi persoalan sentral, baik secara harfiah maupun kiasan, mulai dari impotensi, kekerasan seksual dan juga pencarian kenikmatan syahwat. Kelamin di sini adalah pedang bermata dua, ia bisa jadi cinta atau senjata.

Skenario film yang ditulis bersama oleh Edwin dan Eka Kurniawan menghasilkan karya baru yang berbeda dengan bukunya. Posisi si Burung yang menjadi narator dominan di dalam novel jauh berkurang, bergeser ke lebih banyak sudut pandang orang ketiga. Perubahan ini memungkinkan karakter Iteung menguat. Film ini juga dapat menciptakan keterkaitan yang lebih rapat antara peristiwa jahanam kekerasan seksual dengan motivasi pembalasan dendam yang tumbuh pada Iteung dan Jelita, dua karakter perempuan penting di dalam film. Laga di dalam film ini adalah ekspresi frustrasi, kemarahan dan juga mata pencarian di dalam masyarakat yang terperangkap spiral kekerasan dan ketimpangan sosial.

Film ini dibuat dengan menggunakan film seluloid 16 mm sebagai medium shooting. Secara puitik ini mengingatkan saya pada film-film genre tahun 1960-an dan 1970-an yang kadang juga diproduksi menggunakan medium ini, sebab film 16 mm lebih murah dibandingkan format standar industri 35 mm. Edwin adalah salah satu sutradara yang berupaya terus mengolah medium seluloid, suatu pilihan yang jarang diambil dalam dunia produksi digital kita sekarang. Adalah suatu proses yang langka bahwa kita bisa menyaksikan film yang dibuat dengan seluloid 16 mm, kerjasama dengan penata kamera perempuan Akiko Ashizawa yang sudah berusia 70 tahun. Ashizawa adalah penata kamera antara lain untuk film-film sutradara Jepang Kiyoshi Kurosawa, dengan pengalaman luas dalam film genre dan film mini (8 mm). Gambar-gambarnya padat, ringkas, dan mengisyaratkan kegelapan akan tetapi sangat tenang, realistis dan manusiawi.

Pengucapan dialog di dalam film ini pun patut diperhatikan. Bahasa yang diucapkan para aktor memakai tata bahasa tulis, agak kaku dan terasa ajaib. Gaya pengucapan seperti ini sangat khas karya Eka Kurniawan, dan juga menjadi karakter film-film Indonesia zaman Orde Baru, di mana bahasa jalanan atau bahasa daerah tak punya tempat di film. Pemakaian gaya tutur ini barangkali tak dipahami oleh para penonton di Locarno, tapi bagi saya menciptakan suasana ganjil yang membangkitkan rasa penasaran akibat pertentangan antara suasana visual (pakaian atau tata ruang) yang banal dengan bahasa yang intelektual. Kombinasi ini menimbulkan humor yang khas, yang membuat saya geli karena teringat pada bahasa sok intelek dan kata-kata rumit yang sering kedengaran di radio atau televisi pada masa Orde Baru.

Bahasa tubuh para aktor, meskipun harus mengucapkan bahasa baku, terlihat luwes dan alamiah, cocok dengan dunia visual mereka yang banal. Kombinasi antara dialog, pembawaan tubuh dan gerak berlaga yang dilakukan oleh Ajo (Martino Lio), Iteung (Ladya Cheryl) dan Budi (Reza Rahadian) menimbulkan rasa taksa (ambigu) yang sesuai untuk dunia serba tak nyaman yang mereka diami.

Musik karya Dave Lumenta dan tata artistik Eros Eflin memegang peran penting di dalam film ini dan memberikan konteks periode 1980-an. Kita mendengar Rhoma Irama dan melihat rambut keriting berjambul khas periode itu. Kejutan dalam musik hadir di menjelang akhir film, dalam lagu tema yang gelap tapi romantis.

Satu hal yang terasa kurang mulus adalah tempo penyuntingan. Adegan-adegan terasa singkat, cepat berlalu dan terlampau ketat sambung-menyambung secara bertubi-tubi. Ada saat di mana saya berharap ada sedikit jeda untuk menyerap dan merasakan lebih banyak, bukan hanya dibombardir kejadian demi kejadian.

Festival Film, Kenapa Penting?

Kekhasan dari Golden Leopard adalah bahwa penghargaan ini diberikan tidak hanya untuk Edwin sebagai sutradara, tapi dibagi bersama dengan para produser Meiske Taurisia dan Muhammad Zaidy. Ini menunjukkan bahwa Festival Locarno memosisikan film secara setara sebagai pencapaian untuk karya seni dan karya manajemen.

Festival Locarno 2021 adalah edisi ke-74 sejak diadakan pertama kali tahun 1946. Forum ini adalah satu di antara 15 festival kompetitif yang terakreditasi oleh Federasi Internasional Produser Film (FIAPF) yang berbasis di Belgia, dalam bahasa sehari-hari pelaku industri film global disebut Festival kategori A. Festival lain yang masuk di dalam kategori yang sama antara lain adalah Cannes, Shanghai dan Venesia. FIAPF ini memberi akreditasi kepada festival yang terorganisir dengan baik, berkelanjutan, menghargai karya film, mampu menjadi titik penghubung dengan media massa dan mencegah pembajakan hak intelektual serta melakukan aksi nyata dalam mendukung industri film lokal. Artinya, tinggi-rendahnya standar suatu festival tidak ditentukan semata oleh pesohor yang datang ke karpet merah, akan tetapi bagaimana peristiwa ini menyediakan panggung untuk menghargai pencapaian film di arena global yang tentunya direfleksikan dengan pemilihan film dan para juri internasional.

Juri pada edisi ini terdiri dari presiden juri Elza Hittman (presiden, AS), Kevin Jerome Everson (AS), Philippe Lacote (Pantai Gading), aktor Leonor Silveira (Portugal), aktor Isabella Ferrari (Italia). Film-film yang berkompetisi banyak sekali di antaranya adalah koproduksi multinegara, sama seperti film Dendam yang merupakan koproduksi Indonesia, Singapura dan Jerman. Pesaing di kategori kompetisi internasional 2021 antara lain adalah sutradara senior Ghassan Salhab (Lebanon), sutradara perempuan Axelle Ropert (Prancis) dan Abel Ferrara (AS). Yang terakhir saya sebut ini membawa film yang dibintangi Ethan Hawke. Apa makna menampilkan sesuatu yang disebut "internasional" di sini? Terlihat jelas bahwa yang dijaga betul-betul bukan saja keragaman konteks asal tiap film, tapi juga identitas pembuatnya serta jurinya. Keragaman hanya bisa dipahami dan ditularkan oleh yang beragam juga. Ketika mengucapkan sambutan penerimaan Golden Leopard, sutradara Edwin dan produser juga mengucapkan bahwa penghargaan ini perayaan untuk sinema Asia Tenggara, bukan hanya untuk Indonesia. **)

Festival adalah tempat untuk berbagi, saling belajar, saling mendukung, bukan arena perlombaan macam pacuan kuda. Masuk ke dalam seleksi festival, apalagi dalam seksi kompetisi bukan persoalan gengsi siapa yang paling jagoan bikin film, akan tetapi pemikiran dan dunia seperti apa yang dapat dikenalkan oleh sebuah film kepada khalayak. Festival film adalah jembatan berbagi cerita dan sekaligus pernyataan bahwa kemanusiaan untuk selalu maju bersama dalam solidaritas.

Pencapaian Golden Leopard yang didapat oleh Dendam adalah sumbangan film Indonesia kepada dunia melalui karya seni. Dunia telah menyambutnya di Locarno, dengan pengakuan yang hangat dan tulus. Penghargaan ini adalah suar harapan untuk Indonesia yang berada di tengah kemelut pandemi, sama seperti medali emas Olimpiade. Sungguh menyedihkan bahwa pencapaian ini tidak diakui, tampaknya sama sekali tak dimengerti, oleh pemerintah maupun media massa di Indonesia. ***)

Catatan tambahan pasca terbit di MBM TEMPO:

*) Film ini adalah koproduksi tiga negara: Indonesia (Palari Films), Singapura (Phoenix Films dan E&W Films) dan Jerman (Match Factory Productions dan Bombero International).

**) Selain didukung dua perusahaan film Singapura sebagai ko-produser, pendanaan film ini juga didukung oleh dana ko-produksi Singapore Film Commission dan dana pasca produksi dari Purin Pictures, sebuah perusahaan film di Thailand.

***) Film ini diumumkan meraih penghargaan Macan Tutul Emas di Locarno pada hari Sabtu, 14 Agustus 2021. Sungguh menyedihkan bahwa pada hari-hari berikutnya tak ada media cetak Indonesia yang memuatnya sebagai berita utama, kontras dengan kabar kemenangan para atlit bulutangkis peraih medali emas Olimpiade Tokyo. Yang saya sebut terakhir ini mendapat tawaran bonus miliaran rupiah yang diberikan Presiden (https://nasional.tempo.co/read/1494118/rincian-bonus-untuk-atlet-olimpiade-tokyo-2020). Produser dan sutradara Ifa Isfansyah melalui akun Instagramnya mengritik harian Kompas yang menurunkan berita utama "Pemain Manchester United Rayakan Gol Pembuka" di halaman pertama edisi Minggu, 15 Agustus 2021 (slide kedua pos https://www.instagram.com/p/CSk_bqgBn5R/?utm_source=ig_web_copy_link).